Senin, 13 Desember 2010

SEJARAH ADAT ISTIADAT DAN PERKEMBANGANNYA, 2

  1. Hakikat adat istiadat

Setelah kita menelusuri lebih jauh tentang hakikat adat, akirtnya dapat ditarik seuatu kesimpulan ,bahwa adat merupakan budaya asal nenek moyang kita yang mirip dengan agama hindu, dan telah berkontaminasi oleh ajaran kristen ataupun islam . Hal ini memang dapat di terima akal , karena pada jaman raja-raja berkuasa di indonesia agama hindu memang sangat dominan , dan stelah itu masuklah pengaruh agama islam dan agama kristen padajaman pemerinyahan Hindia Belanda. Hampir semua bentuk dan jenis adat pada dasarnya berorintasi pada kesejateraan dan keselamatan hidup di dunia. Sedikit sekali, bahkan hampir sama sekali tidak menyentuh tentang keselamata jiwa disurga. Kalaupun ada, hal ini telah dipengaruhi oleh ajaran agama kristen atau islam. Pendapat diatas diperkuat berdasarkan DOA panyagahant yaitu: .......”Minta baraseh salamat batubuh ringang-basengant lanu’-basukat- panyank -mulakngi’ pasaratn-ampa nyenok ai’ nyenok karasik –ahe dicinta samua dapat-kaya raya-bapadi nginsi’i pati-baju putih –batinih padi lama-baru ‘padi baru-babaras bangam-baguang nginisi’i pati bajalu sakumakang lati-bamanok sasinge aur , iatn nang dipinta dipulih ka’kita ‘pama...jubata (Ne’pajaji) kadang kali kita pernah mendengar sang panyangahant dalam doa nya menyebut “subayatn”, tetapi subayatn tidaklah dsapat diartikan ahirat surgar. Kata subayan mulai dikenal dari cerita Nek Baruakng dimana dalam perjalanan mengembara ia KAWIN DENGAN SEORANG GADIS YANG SANGAT CANTIK BERNAMA Nek Si Putih Penara Surabayn, dan dari hasil perkawinannya itu lahirlah segala jenis rasi seperti sooh, keto, kutuk dll. Dengan demikian, subayatn dapat di artikan sebagai negeri tempat tinggal roh-roh halus yang suka ngarere’-ngalimat menggoda, merayu manusia jadi hampir tidak ada menyentuh kehidupan diakhirat, karena menurut pandangan adat, akhirat itu tempat yang suci baraseh tidak ada kesalahan dan noda dosa diakhirat tempat yang abadi, karena menurut pandangan adat perbuatan baik dan jahat semua akibatnya diterima didunai seperti pepatah mengatakan. Gajah mati ninggalkan gading, harimau mati niaggalkan belang, kalau orangnya berbuat baik, dirinya dan keturunan tali darahnya juga akan menerima kebaikan. Kalau dianya suka berbuat kejahatan dirinya dan keturunan tali darahnya akan menerima kejahatan juga, ini semua diwariskan kepada anak bahkan sampai kepada cucu dan cicit, maka kalau orang melakukan kejahatan membunuh, ini akibat sial sengsaranya sampai 7 (tujuh) keturunan. Oleh sebab itu adat berprinsip orang baik itu sering melakukan yang baik, walaupun dai mendapat kelebihan sedikit ini dikatakan kaya. Tapi yang namanya orang jahat tidak pernah berbuat untuk orang lain selain menguntungkan dirinya sendiri apalagi kalau memang dianya sudah terkontaminasioleh tali darah orang jahat keturunannya, penipu, perampok, pembunuh, preman pekerjaan usaha yang dipilihnya pasti sifatnya berdiri diatas kesusahan dan pendaritaan orang lain. Dia tetap bisa jadi orang kaya tetapi tidak menjadi orang baik, anak cucu keturunan tali darahnya akan menerima badi, tulah dan kizas balasan perbuatan yang dilakukan oleh orang tuanya itu.

  1. Penjelmaan Hidup Kembali atau Reinkarnasi

Meskipun kita telah berkesimpulan berdasarkjan doa penyangahatn bahwea adat pada dasarnya berorientasi kepada hal-hal duniawi, namun apabila kita cermati dengan seksama ternyata ajaran adat sangat mengutamakan dan memprioritaskan hal-hal yang baik seperti salingmengasihi, tidak boleh melakukan kejahatan bahkan keseimbangan batin harus dijaga. Ajaran adat mengenai adanya tulah, sangar dan kicas atau karma, pantang pamali. Adat percaya adanya oenjelman hidup baru setelah kematian, maka baik buruknya penjelmaan kehidupan baru itu sangat bergantung pada baik buruknya perilaku manusia selama hidupnya, pendapat tentang penjelmaan hidup baru dalam baka ini ( reinkarnase) sebagaimana dapat kita simak dari kata-kata atau pesan terhadap orang mati. Dalam pesan tersebut diatas memang tidak jelas, apakan penjelmaan hidup baru itu selain menjadi binatang atau menjadi roh yang baik menempati tempat-tempat keramat (Biat, Pama). Bisa juga menjelma kembali menjadi manusia dalam bentuk baru. Terlepas dari pesan-pesa tersebut diatas, menurut kepercayaan adat penjelmaan hidup kembali menjadi manbusia baru memang dapat kita yakini. Untuk membenarkan pendapat diatas, maka kalau orang yang meninggal dunia dia orang yang sudah cukuo tua dan perbuatan semasa hidupnya tergolong orang baik , dia kaya sugih bukan kaya harta dianya dianggap menjadi Pama menadji roh-roh baik menjadi keramat yang dapat memberikan keselamatan dan berkat terhadap kehidupan anak cucu tali darahnya. Kalau dianya orang tua perbuatannya tidak baik, misalnya pembunuh, perampok, suka dengki dengan kehidupan orang lainyang sejalan dengan cara hidupnya dan lain sebagainya. Ini dianggap dianya menjadi roh-roh jahat, menjadi pengacau pengaru, menjadi Baho Kadoko ka’uma, ka’ tahutn jadi setan iblis, sering menganggu kehidupan manusia termasuk kehidupan anak cucu tali darahnya. kalau dianya anak-anak yang belum pernah berbuat apa-apa ini bisa juga menjelma hidup kembali menjadi manusia dalam bentuk baru ini dapat diyakini oleh beberapa contoh dalam masyarakat adat , mereka memberi tanda kapur atau kunyit dibagian dahi anak yang baru meninggal, itu setelah beberapa tahun kemudian lahirlah seorang anak dilingkungan keluarga dekat pasti mempunyai tanda berupa tai lalat pada bagian yang diberi tanda itu, sedangkan hal ini belum pernah dilakukan pada orang dewasa , alasannya karena orang dewasa selama hidupnya sudah terkontaminasi oleh perbuatan yang kurang baik namun demikian berdasarkan keyakinan bahwa perbuatan baik itu bisa juga menjelma masuk kepada manusia lain kalau dia juga tergolong orang baik misalnya dia mendapatkan kedudukan ditengah masyarakat jadi pemimpin organisasi, jadi pemimpinperusahaan bahkan menjadi pemimpin negara, pemimpin agama, melioner, dan lain sebagainya sebagai pokoknya menjadi orang terkemuka.

0 komentar:

Posting Komentar





 
Design by PHILIPUS NAHAYA | Web by PHILIPUS NAHAYA - Philipus Nahaya Themes | PHILIPUS NAHAYA